Minggu, 23 Desember 2012

Komite Khilafah

Minggu, 23 Desember 2012 0
Sesungguhnya perjuangan penegakan Khilafah Islamiyah merupakan bagian dari sejarah besar bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sudah banyak orang Indonesia terlibat dalam perjuangan khilafah. Penelusuran sumber-sumber sejarah yang ada menunjukan bahwa di Indonesia para ulama, tokoh pergerakan beserta umat Islam yang lain turut serta memperjuangkan khilafah agar tegak kembali.


Walaupun perjuangan ini cukup singkat yang kemudian lenyap tergerus oleh perjuangan nasionalisme, semangat perjuangan mereka penting untuk dipahami. Fakta-fakta sejarah ini harus selalu diungkap. Adalah hak seluruh bangsa Indonesia untuk mengetahui jejak-jejak perjuangan mereka. Dengan memahami sejarah ini kita bisa mengambil banyak pelajaran berharga. Sebagaimana fungsi sejarah, dengan mengetahui masa lalu kita akan memahami masa kini untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Peristiwa penghapusan Turki Usmani oleh Mutafa Kemal yang disusul oleh seruan ulama al-Azhar untuk menghadiri Kongres Kairo yang akan memilih khalifah baru mendapat antusiasme yang sangat besar dari umat Islam di Indonesia. Pada 4-5 Oktober 1924 para pemimpin Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad mengadakan sebuah pertemuan di Madrasah Tarbiatoel Aitam Genteng Surabaya. Selain dihadiri oleh para pemimpin nasional dan lokal dari ketiga organisasi tersebut, pertemuan ini juga dihadiri oleh banyak ulama besar, baik dari kalangan orang Arab maupun orang Jawa. Dalam pertemuan ini terjadi diskusi yang panjang tentang khilafah dan seruan ulama al-Azhar tersebut.

Dalam sejarah Indonesia, pertemuan ini menjadi pertemuan khusus membahas khilafah yang pertama kali diadakan di Indonesia. Disepakati dalam pertemuan ini bahwa keberadaan khilafah adalah wajib, dan penting mengirim delegasi Indonesia ke Kongres Kairo. Hasil lain dalam pertemuan ini adalah kesepakatan para ulama dan tokoh pergerakan Islam untuk membentuk Komite Khilafah sebagai wadah bagi mereka dalam memperjuangakan khilafah.

Komite Khilafah bertugas menetapkan mandat yang akan dibawa oleh delegasi Indonesia. Mandat tersebut berisi sebuah konsep khilafah yang akan ditegakan. Oleh karena itu ternyata perjuangan mereka saat itu telah berhasil merumuskan sebuah konsep baru tentang khilafah.

Pada 24-27 Desember 1924 komite yang diketuai Wondo Soedirjo dengan wakil K.H. Abdul Wahab ini mengadakan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres yang dihadiri oleh ribuan umat Islam termasuk ulama dan tokoh pergerakan ini menyetujui mandat tersebut. Dengan seiya sekata para peserta kongres menyatakan wajib terlibat dalam perjuangan khilafah. 

Selain itu kongres tersebut juga menyepakati untuk mendirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu dibeberapa kota di Indonesia didirikan cabang-cabang Komite Khilafah. Jika kita telusuri sejarah lokal tentang Komite Khilafah, barangkali di kota tempat kita tinggal saat ini dapat ditemui jejak-jejak perjuangannya.

Komite cabang yang pernah didirikan antara lain adalah Komite Khilafah Yogyakarta, Komite Khilafah Pekalongan, Komite Khilafah Cirebon, Komite Khilafah Pasuruan, Komite Khilafah Bogor, Komite Khilafah Banjarmasin dan Komite Khilafah Cianjur. Hal ini menjadi bukti bahwa perjuangan khilafah mendapatkan apresiasi yang sangat besar di berbagai tempat di Indonesia.

Seperti yang pernah diberitakan oleh sebuah surat kabar pada zaman itu. Diberitakan bahwa pada 30 November 1924 di Cianjur telah diadakan sebuah rapat besar yang dihadiri oleh sekitar 3000 orang untuk membahas persoalan khilafah. Sesuatu yang sangat luar biasa, dalam konteks hari ini sekalipun, di kota Cianjur sebuah pertemuan yang membicarakan khilafah dapat dihadiri peserta sebanyak 3000 orang.

Kemudian bagaimana perjuangan khilafah di tempat yang lain. Saya pikir sangat menarik untuk bersama-sama kita telusuri sejarahnya. Berminat?

---- ### -----
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Indonesia Program Studi S1 Ilmu Sejarah. TUlisan ini pernah dipublish dalam Media Umat edisi 95, 21 Desember 2012.
Sumber gambar diambil dari surat kabar Bandera Islam yang terbit

Selasa, 27 November 2012

Jejak Awal Perjuangan Khilafah di Indonesia

Selasa, 27 November 2012 1

Oleh Septian A.W.



            Sesungguhnya perjuangan penegakan Khilafah Islamiyah merupakan bagian dari sejarah besar bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sudah banyak orang Indonesia terlibat dalam perjuangan khilafah. Penelusuran sumber-sumber sejarah yang ada menunjukan bahwa para ulama, tokoh pergerakan, beserta umat Islam Indonesia yang lain turut serta memperjuangkan Khilafah agar tegak kembali. Siapa yang tidak mengenal H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Agus Salim, K.H. Fakhrudin dan K.H. Mas Mansur. Mereka yang dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia itu ternyata menjadi aktor penting perjuangan khilafah kala itu.
            Walaupun perjuangan ini cukup singkat yang kemudian lenyap tergerus oleh perjuangan nasionalisme, euforia perjuangan mereka penting untuk dipahami oleh kita yang merupakan anak cucu mereka. Fakta-fakta sejarah ini harus selalu diungkap. Adalah hak seluruh bangsa Indonesia untuk mengetahui jejak langkah perjuangan mereka. Dengan memahami sejarah ini kita akan banyak mengambil pelajaran berharga untuk kehidupan kita saat ini.
            Eksistensi sejarah umat Islam Indonesia dalam memperjuangkan khilafah telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun barat. Diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka. Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan, umat Islam di Indonesia tidak hanya sekedar berminat dalam masalah khilafah mereka justru merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya.
            Hal senada juga diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Usmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti yang dikutip van Bruinessen, hal itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini”.
            Tidak membutuhkan waktu lama bagi umat Islam di Indonesia untuk segera merespon persoalan khilafah. Jejak awal perjuangan mereka dapat dilihat dalam Kongres Al-Islam kedua di Garut pada 19-21 Mei 1924. Selain membahas persoalan internal umat Islam di Indonesia, kongres yang diadakan di bawah pimpinan K.H. Agus Salim dan pengurus Muhammadiyah ini membahas permasalahan khilafah yang baru dua bulan sebelumnya diruntuhkan oleh Mustafa Kemal.
            Dalam pidato pembukaan kongres, K.H. Agus Salim menempatkan permasalahan tersebut dalam konteks perjuangan antara dunia Islam dan pemerintah kolonial. Menurutnya, hubungan antara negeri-negeri Muslim itu buruk, persatuan mereka telah rusak, dan khalifah hanya hidup dalam khutbah Jum’at. Di berbagai tempat mereka dikuasai oleh bangsa asing. Di Ankara khalifah telah dipecat dan tidak ada khalifah baru di Istanbul. Kemudian K.H. Agus Salim menegaskan, Kongres Al-Islam ini perlu mencari persatuan maka merupakan sebuah kewajiban dalam mencari solusi atas permasalahan khilafah. Bagi K.H. Agus Salim keberadaan sebuah pemerintahan muslim yang merdeka adalah suatu hal yang penting.
            Sejak saat itu gagasan menegakan khilafah kembali terus bergulir dan terus diperbincangkan di Indonesia. Mayoritas umat Islam di Indonesia merasa berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Hingga

Sabtu, 03 Maret 2012

Respon Umat Islam di Indonesia Atas Keruntuhan Khilafah Islamiyah

Sabtu, 03 Maret 2012 0

Oleh Septian Anto Waginugroho [1]


Pada 28 Rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924, Kemal at-Taturk melalui Majelis Nasional Turki menetapkan penghapusan Khilafah dan pengusiran Khalifah saat itu sekaligus menjadi yang terakhir, Abdul Majid II, ke luar Turki. Dengan demikian berakhirlah sistem Khilafah yang selama ini menyertai umat Islam. Berita tentang penghapusan dan pengusiran yang dilakukan oleh Kemal Ataturk ini segera menyebar ke luar Turki dan mengejutkan dunia Islam. Kemudian umat Islam di berbagai belahan dunia memberikan respon dalam berbagai bentuk dan saat itu muncul upaya agar Khilafah dapat tegak kembali.[2]

Pada dasarnya penghapusan Khilafah ini merupakan persoalan bagi umat Islam di seluruh dunia karena Khilafah merupakan bagian dari keislaman mereka. Selain itu selama ini Khilafah telah berdiri bersama umat Islam berabad-abad lamanya sehingga Khilafah telah menjadi bagian sejarah perjalanan hidup mereka. Tentang hubungan antara umat Islam dan Khilafah serta sebab persoalan penghapusan ini mendatangkan respon, Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, seorang Guru Besar Jurusan Sejarah Islam Universitas Kairo, di dalam bukunya yang berjudul al-Islam wa al-Khilafah fi al-Ashr al-Hadits menjelaskan,
sesungguhnya Khilafah ini bukan milik Turki saja melainkan milik dunia Islam seluruhnya. Ia adalah sebagian dari warisan umat Islam, peninggalan sejarah dan lambang persatuan mereka. Khilafah merupakan pimpinan spritual bangsa-bangsa Islam di segenap penjuru bumi. Khilafah ini telah berlangsung lebih dari seribu tiga ratus tahun. Yaitu sejak umat Islam mengadakan rapat untuk memilih Abu Bakar Shiddiq (Sahabat Nabi) sebagai pengganti Rasulullah Muhammad saw. Beliau itulah sebagai khalifah pertama dalam sejarah Islam, diikuti oleh Khalifah kedua al-Farq Umar bin Khaththab, begitulah seterusnya silih berganti sepanjang masa, dalam berbagai dinasti sehingga berakhir pada abad keduapuluh ini. Oleh karena itu, wajar jika umat Islam memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal Khilafah ini dan memikirkan akibatnya, serta berpikir apa yang akan terjadi kelak di masa mendatang.[3]
Sebab begitu besar pengaruh keberadaan Khilafah bagi umat Islam maka berita keruntuhan Khilafah ini mendapatkan respon dari dunia Islam dan muncul upaya untuk menegakkan Khilafah kembali. Beberapa saat setelah diruntuhkan, ide untuk menegakan kembali Khilafah langsung bergulir dan terus diperbincangkan. Di beberapa tempat ide ini diperbincangkan dalam pertemuan-pertemuan besar.

Pada Maret 1924 dibawah pimpinan Syaikh al-Azhar para ulama menyelenggarakan pertemuan di Kairo. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa keberadaan Khilafah yang memimpin umat Islam tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah keharusan. Mereka juga berpendapat kedudukan Abdul Majid sebagai Khalifah sudah gugur setelah dia diusir dari Turki. Oleh  sebab itu harus ada pengganti Khalifah selanjutnya. Untuk membahas siapa yang layak menjadi Khalifah, mereka memutuskan akan mengadakan Muktamar di Kairo pada Maret 1925 dengan mengundang wakil-wakil dari umat Islam di seluruh dunia.[4]

Hal serupa juga dilakukan oleh ulama di Hijaz. Pada April 1924 di Makkah, Syarif Husein yang menjadi Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari sembilan sayid dan sembilan belas perwakilan dari daerah lain termasuk dua orang perwakilan dari Jawa. Dewan Khilafah ini dibentuk sebagai upaya untuk menegakkan kembali jabatan Khalifah. Namun Dewan Khilafah tidak berumur panjang karena pada tahun yang sama Syarif Husein lengser dari jabatannya.[5]

Di Indonesia pun berita penghapusan Khilafah telah sampai dan mendapat respon dari ulama dan tokoh pergerakan Islam pada saat itu. Pada Mei 1924, dalam kongres Al-Islam II yang diselenggarakan oleh Sarekat Islam dan Muhammaddiyah, persoalan tentang Khilafah menjadi topik pembicaraan kongres. Dalam kongres yang diketuai Haji Agus Salim ini diputuskan bahwa untuk meningkatkan persatuan umat Islam maka kongres harus ikut aktif dalam usaha menyelesaikan persoalan Khalifah yang menyangkut kepentingan seluruh umat Islam. [6]

Keputusan itu semakin dipertegas dengan lahirnya keputusan Kongres Nasional Central Sarekat Islam pada Agustus 1924 di Surabaya. Seperti yang diberitakan surat kabarBandera Islam, kongres memutuskan untuk terlibat dalam perjuangan Khilafah. Umat Islam di Indonesia harus mengirimkan utusannya ke kongres di Kairo.
“…hendak membantoe dengan segala kekoeatan boedi dan tenaganja semoea ichtiar jang menoedjoe maksoed akan mengirimkan oetoesannja oemmat Islam di Hindia-Timoer, boeat menghadiri Congres Igama Islam, jang diadakan di Cairo goena membitjarakan dan memoetoeskan perkara Chilafat Islam.” [7] 

Jauh sebelum Turki Usmani runtuh, permasalahan Khilafah telah menarik perhatian umat Islam di Indonesia. Hingga kemudian pada 3 Maret 1924 muncullah persoalan yang menyedot perhatian dunia tersebut. Secara umum keruntuhan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam[8], yang mulai berfikir tentang pembentukan Khilafah baru. Menurut Deliar Noer, Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya.[9]

Saat gagasan penegakan Khilafah muncul, masyarakat Islam Indonesia tengah berada dalam zaman pergerakan nasional. Saat itu telah banyak bermunculan organisasi-organisasi pergerakan Islam seperti Sarekat Islam, al-Irsyad, Muhammadiyah dan menyusul kemudian Nahdlatul Ulama. Organisasi ini muncul karena dorongan aspirasi mereka untuk memajukan Islam dan menentang penjajahan Belanda. Berbeda dengan generasi sebelum mereka yang menempuh perjuangan secara fisik dan bersifat kedaerahan, pada zaman ini bangsa Indonesia berjuang melalui organisasi-organisasi modern. Cara-cara yang mengedepankan kekuatan intelektual menjadi ciri pergerakan mereka. Pada zaman itu mereka telah terbiasa  menggunakan langkah-langkah seperti pembentukan komite-komite, penyelenggaran kongres dan pertemuan serta pengadaan sarana pendidikan, untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Perjuangan mereka semakin disempurnakan dengan usaha masif penerbitan surat kabar yang menjadi organ bagi organisasi mereka.[10]

Dengan cara-cara seperti itu juga mereka memperjuangkan Khilafah. Pembentukan komite, penyelenggaraan kongres dan pertemuan, serta penerbitan surat kabar menjadi cara yang ditempuh untuk memperjuangan Khilafah pada zaman itu. Saat berita keruntuhan Khilafah sampai di Indonesia, mereka meresponnya dan ikut terlibat dalam perjuangan Khilafah. Ditambah pula perjuangan mereka ini memiliki hubungan dengan perjuangan Khilafah yang dilakukan oleh umat Islam di negeri lain.

“Persidangan Moelia Loear Biasa Dari Pada Congres Al-Islam” dalam Bandera Islam, 1 Januari 1925
“Persidangan Moelia Loear Biasa Dari Pada Congres Al-Islam” dalam Bandera Islam, 1 Januari 1925


Tersiar kabar akan diselenggarakan sebuah kongres dunia Islam di Kairo dengan mengundang perwakilan dari seluruh umat Islam di dunia. Kongres yang dimaksudkan untuk mencari pengganti khalifah ini akan diselenggarakan pada Maret 1925. Undangan kongres ini pun dikirim ke Indonesia.[11] Sebagai sambutan atas undangan ini pada tanggal pada tanggal 4-5 Oktober 1924 diadakan sebuah pertemuan di Surabaya yang dihadiri para ulama dan kaum pergerakan Islam dari berbagai organisasi. Dihasilkan kesepakatan dalam pertemuan ini bahwa wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Umat Islam di Indonesia harus terlibat dalam kongres di Kairo dengan mengirimkan utusan ke kongres tersebut. Untuk maksud tersebut maka dibentuk sebuah badan khusus bagi perjuangan Khilafah di Indonesia yang bernama Comite-Chilafat dengan ketua Wondosoedirdjo dari Sarekat Islam dan wakil ketua K. H. Abdul Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi yang kemudian menjadi salah seorang pendiri NU.[12]

Pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan diselenggarakan Kongres al-Islam Luar Biasa pada tanggal 24-27 Desember 1924 di Surabaya. Kongres ini dihadiri oleh para ulama dan  68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang. Ada tiga keputusan yang dihasilkan dari kongres ini. Pertama, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Kedua, disepakati akan terus didirikan Comite-Chilafaat di seluruh Hindia-Timur (Indonesia). Dan terakhir, diputuskan akan mengirimkan tiga orang utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres di Kairo dengan enam butir mandat yang telah disepakati. Tiga orang utusan tersebut adalah Surjopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fachroddin dari Muhammadiyah dan K. H. A. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi. Namun utusan ini gagal berangkat disebabkan kongres di Kairo ditunda. [13]

Aspirasi umat Islam di Indonesia untuk bergerak memperjuangkan Khilafah terus menyebar ke berbagai pelosok Indonesia. Kesadaran tentang urgensi perjuangan Khilafah terus diopinikan. Hal itu diupayakan dengan membentuk cabang-cabang Comite-Chilafaat di berbagai wilayah di Indonesia[14] dan dengan diadakannya  pertemuan-pertemuan yang membahas Khilafah di berbagai kota.[15]
=====

Catatan Kaki

[1] Mahasiswa Universitas Indonesia Jurusan Ilmu Sejarah.

[2] Untuk uraian berbagai respon atas keruntuhan Khilafah, lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 83-6.

[3] Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, Islam dan Khilafah di Zaman Modern, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), hlm. 45.

[4] Ibid.,  hlm. 50-1.

[5] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 86.

[6] Mukayat, Haji Agus Salim Karya & Pengabdiannya, (Jakarta: Depdikbud, 1985), hlm. 39; A.K. Pringgodigdo SH., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 37.

[7] Bandera Islam, 16 Oktober 1924.

[8] Dalam surat kabar harian Neratja edisi 26, 27, 29, 31 Maret 1924, K. H. Agus Salim menulis sebuah artikel yang berjudul Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam.Artikel ini mengambarkan kekalutan dunia Islam atas keruntuhan Khilafah.

[9]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942, (Jakarta: LP3ES,  1996), hlm. 242.

[10] Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942, (Jakarta: LP3ES,  1996) dan  A.K. Pringgodigdo SH., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986).

[11] Aqib Suminto, Op.Cit., hlm. 86.

[12]Deliar Noer, Op.Cit, hlm. 242. Reportase tentang pertemuan ulama dan kaum pergerakan pada 4-5 Oktober di Surabaya banyak dimuat dalam surat kabar yang terbit sezaman. Menurut harian Hindia Baroe pimpinan K. H. Agus Salim, sepanjang sejarah umat Islam di Indonesia, pertemuan ini merupakan kali pertamanya di Indonesia diadakan sebuah pertemuan yang khusus membahas tentang Khilafah, lihat Hindia Baroe, 16, 17, 18 Oktober 1924; dan Bandera Islam,  23, 30 Oktober 1924.

[13] Lihat Deliar Noer, OpCit., hlm. 242; dan Aqib Suminto, Op.Cit., hlm. 86. Tiga keputusan Kongres ini, lihat “Persidangan Moelia Loear Biasa Dari Pada Congres Al-Islam” dalamBandera Islam, 1 Januari 1925. Penundaan  kongres Kairo disebabakan oleh tiga alasan, yakni: 1. Masih berkecambuknya perang di Hijaz; 2. Belum jelasnya beberapa negeri Islam atas seluk beluk kongres; dan 3. Kesibukan Mesir dalam menghadapi pemilihan umum, lihatBandera Islam, 22 Januari 1925.

[14] Cabang dari Komite Khilafah ini antara lain: Sub-comite Chilafaat Djokjakarta, Sub-comite Chilafaat Pekalongan, Sub-comite Chilafaat Tjirebon, Sub-comite Chilafaat Pasoeroean, Sub-comite Chilafaat Buitenzorg, Sub-comite Chilafaat Bandjermasin dan Sub-comite Chilafaat Tjiandjoer, lihat Bandera Islam, 1 Januari 1925.

[15] Harian Hindia Baroe, 4 Desember 1924, memberitakan tentang pertemuan Sub-comite Chilafaat Tjiandjoer yang dihadiri oleh 3000 orang dari berbagai kota seperti Cianjur dan Sukabumi, pertemuan ini membahas tentang perjuangan Khilafah. Selain itu Sub-comite Tjiandjoer  menyumbangkan dana kepada Comite-Chilafaat di Surabaya, lihat Bandera Islam, 29 Januari 1925; Pada 15 Januari 1925, surat kabar Bandera Islam memberitakan tentang pertemuan S.I. Majalengka. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 350 orang ini dibahas tentang pergerakan Khilafah dan keputusan Kongres Al-Islam di Surabaya.

Kamis, 09 Februari 2012

My Chapter Research (Part III): . . . Respon Umat Islam di Indonesia Atas Keruntuhan Khilafah Islamiyah . . .

Kamis, 09 Februari 2012 0
Jauh sebelum Turki Usmani runtuh, permasalahan Khilafah telah menarik perhatian umat Islam di Indonesia. Hingga kemudian pada 3 Maret 1924 muncullah persoalan yang menyedot perhatian dunia. Kemal at-Taturk melalui Majelis Nasional Turki menetapkan penghapusan Khilafah dan pengusiran Khalifah yang terakhir, Abdul Majid II, ke luar Turki. Secara umum keruntuhan Turki Usmani menimbulkan kebingungan pada dunia Islam, yang mulai berfikir tentang pembentukan Khilafah baru. Menurut Deliar Noer, dalam disertsinyaThe modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, beberapa saat setalah Khilafah Usmani runtuh, masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya.


"... Kitab soetji Al-Qoeran bagi kita kaoem Moeslimin boekan sadja kitab betjaan atau kitab jang tjoema mesti kita hafadzkan boenjinja ataupoen hanja mesti kita mengetahoei ma'na serta tafsirnja sadja, tetapi pertama-tama sekali segala perintah dan larangan Allah jang terisi didalamnja haroeslah kita djalankan dan kita singkiri. Begitoepoen haroeslah kita berichtiar djoega dengan sehabis-habis tenaga dan kekoeatan kita akan mentjapai segala sesoeatoe jang didjandjikan (disanggoepkan) oleh Allah Ta'ala didalamnja. Barang siapa mengakoe Moeslim, tetapi tidak berlakoe atau berboeat seperti jang terseboet ini, maka tidak penoehlah haknja diseboet orang Islam ...
...Sekarang telah kedjadian persidangan jang pertama dari pada Congres Alam Islam di Mekkah, ialah tempat poesat Islam, jang ketjoeali jang lain-lainnja bermaksoed: mempersatoekan Oemat Islam disegenap doenia dengan djalan tjara dan organisatie.
Soenggoeh besar harga dan kepentingannja Congres ini, dalam oeroesan ibadat, sociaal, politiek dan economie!
Membantoe Congres ini berarti: bekerdja mendjalankan perintah Allah. Sebaliknja, tidak membantoe, bererti: melanggar perintah Allah.
Peringati dan perhatikanlah, hari Saudarakoe kaoem Moeslimien!" (SK. Bandera Islam, 29 Moeharram 1345/ 9 Augusts '26).

Septian Anto W.
(Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas Indonesia Program Studi S1 Ilmu Sejarah)

Kamis, 19 Januari 2012

Masih Ada!!

Kamis, 19 Januari 2012 0

Barangkali bisa ditelusuri jejak sejarah daerah ini.
good Job, perlu disambangi.

~Jl. Genteng Durasim 9 Kel. Genteng Kecamatan Genteng Surabaya Tengah~

=====

Indonesia 88 tahun silam, tepatnya 4-5 Oktober 1924, seribuan orang yang terdiri dari ulama dan tokoh-tokoh organisasi Islam hadir dalam sebuah pertemuan di madrasah Tarbiatoel-Aitam Genteng Surabaya. Pertemuan ini diadakan untuk membuat kesepakatan tentang renstra dan proker perjuangan Khilafah di Indonesia. Dalam surat kabar Neratja pimpinan Hadji Agoes Salim, dinyatakan bahwa sepanjang sejarah umat Islam di Indonesia, ini merupakan kali pertamanya di Indonesia diadakan sebuah pertemuan yang khusus membahas topik Khilafah. Dari pertemuan ini lahirlah Comite Chilafaat, sebuah lembaga fungsional untuk perjuangan Khilafah di Indonesia.
 
Membuka Wacana Sejarah. Design by Pocket