Oleh Septian A.W.,
S.Hum.[2]
This development created confusion in
the Muslim world in general which began to ponder about the establishment of a
new caliph. The Muslim community in Indonesia was not only interested in this
question, but considered it also as their duty to discuss it and attempt to
find a solution to it.
--Prof. Deliar Noer
Pengantar
Telah lama ‘Nusantara’ menjadi sebutan
yang popular untuk menunjukan kawasan Indonesia saat ini. Sebuah kawasan yang
terdiri dari beribu-ribu pulau yang dihubungkan dengan laut dan sejak
berabad-abad silam telah menjadi jalur perdagangan laut internasioanl.
Sebab posisinya sebagai bagian jalur perdagangan ini, Nusantara memiliki akses
yang mudah dengan dunia luar serta tentu terlibat dalam interaksi internasional
sehingga mendapat banyak pengaruh dari peradaban sekitarnya.
Segenap peradaban yang berdiri kokoh di
luar akan masuk dan mengubah sistem kehidupan di Nusantara. Tak terkecuali
dengan peradaban Islam yang sejak abad ke 6 M tengah tumbuh di Timur Tengah tepatnya di sebelah sisi
barat Nusantara. Interaksi Nusantara dengan kawasan Timur Tengah sudah pernah
ada sejak Islam pertama kali muncul. Pada awalnya interaksi tersebut lebih
berbentuk relasi ekonomi dan perdagangan, namun pada saat Timur Tengah telah
berada dalam kekuasaan Khilafah Islam, relasi tersebut meluas menjadi relasi
politik-keagamaan dan intelektual.
Makalah ini akan membahas relasi
politik-keagamaan antara penguasa pribumi Nusantara dan penguasa Khilafah Islam
ditinjau dari sudut Indonesia sentris dan mengikuti pembabakan (kronologi)
sejarah Indonesia. Pembahasan tersebut akan dikupas sejauh sumber sejarah yang
telah penulis temukan dalam bentuk buku sekunder maupun jurnal ilmiah. Melalui
pembahasan ini diharapkan akan tergambar eksistensi dan pengaruh Khilafah Islam
dalam sejarah Indonesia, mengingat hal ini penting untuk selalu diungkap pada
saat ini untuk menghadang arus de-Islamisasi sejarah Indonesia.
Korespondensi
dan Pengakuan
Hubungan
antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang. Kontak
paling awal antara kedua wilyah ini, khususnya berkaitan dengan perdagangan,
bermula sejak masa Phunisia dan Saba’. Kehadiran Muslim Timur Tengah ke Nusantara
pada masa-masa awal pertama kali disebutkan oleh agawan dan pengembara terkenal
Cina, I-Tsing yang pada 51 H/617 M.
sampai ke Palembang yang merupakan ibu kota kerajaan Buddha Sriwijaya.
Mereka yang berada di Nusantara merupakan para pedagang yang kaya dan memiliki
kekuatan ekonomi. Dalam padangan Azyumardi Azra, interaksi mereka di
Palembang ini yang merupakan salah satu
factor penting pendorong raja Sriwijaya mengirim surat kepada Khalifah Bani
Abasiyah.
Ketika Khilafah
diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah di Nusantara masih berada
dalam kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha . Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan
Budha di Nusantara yang tercatat memberikan pengakuan terhadap kebesaran
Khalifah. Pengakuan ini dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim
oleh raja Sriwijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama
dikirim kepada Mu’awiyah, dan surat kedua dikirim kepada ‘Umar bin “Abd
al-‘Aziz.
Surat pertama ditemui dalam sebuah
diwan (sekretaris) Mua’awiyah dan memiliki gaya tipikal surat-surat resmi
penguasa Nusantara. Diriwayatkan pembukaan surat tersebut:
“(Dari Raja al-Hind – atau tepatnya Kepulauan
India) yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya
terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang
memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gahana (aloes),
kepada Mu’awiyah…”
Surat kedua, yang mempunyai nada
yang sama, jauh lebih lengkap. Surat yang ditunjukan kepada Khalifah ‘Umar bin
“Abd al-‘Aziz itu menunjukkan betapa hebatnya Maharaja dan kerajaannya:
“Nu’aym bin
Hammad menulis: “Raja al-Hind (Kepulauan) mengirim sepucuk surat kepada ‘Umar
bin “Abd al-‘Aziz, yang berbunyi sebagai berikut: “Dari Raja Diraja (Malik
al-Malik = maharaja); yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga
adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu
gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu
wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau
jarak 12 mil; kepada Raja Arab (‘Umar bin “Abd al-‘Aziz), yang tidak
menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda
hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar
tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang
dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya
(atau di dalam versi lain, yang akan menjelaskan Islam dan menjelaskannya kepada
saya).”
Dari
pemaparan di atas dapat dipahami Khilafah Islam telah menunjukan eksistensinya
di Nusantara sejak masa Kerajaan Hindu-Budha atau sejak Khilafah itu sendiri
kokoh menjadi Negara yang menaungi berbagai bangsa di dunia. Khilafah pun
mendapatkan pengakuan dari raja Nusantara sehingga muncul ketertarikan mereka
kepada dakwah Islam. Hal ini yang pada perkembangan selanjutnya menjadi
faktor yang mengkonversi masyarakat di
Nusantara terutama di para penguasanya menjadi masyarkat Muslim dan muncul
pemerintahan baru bercorak kesultanan.
Bahasa Politik
Islam
Meskipun wilayah Muslim Asia Tenggara
scara kultural kurang ter-arabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam
kehidupan social keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku di Nusantara mengadupsi
peritilahan Arab ke dalam kehidupan mereka. Sejumlah kosakata Arab yang
‘diadopsi masyarakat Nusantara berkaitan dengan permasalahan politik. Untuk menyebut
contoh misalkan, daulat, sultan, khalifah, baiat, tadbir,
harb, jihad, aman, majlis, musyawarah, hukum, qanun, dsb. Penggunaan
kosakata politik Islam dapat dipastikan menjadi meluas ketika institusi politik
Islam mulai berdiri pada akhir abad’ ke-13. Dengan konversi penguasa ke Islam,
entitas politik yang selama ini dikenal sebagai ‘kerajaan” kini secara resmi
disebut “kesultanan”.
Sejumlah penguasa Muslim di Nusantara
mengusahakan legitimasi gelar sultan mereka dari penguasa politik dan keagamaan
di Timur Tengah. Penguasa Banten, Abd al-Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638
menerima anugerah gelar sultan dari Syarif Mekkah. Pangeran Rangsang, penguasa
Mataram, pada 1641 mengirimkan utusan ke Hijaz menghadap Syarif Mekkah, tanpa
banyak tanya Syarif langsung memberikan gelar sultan kepada Pangeran Rangsang,
yang selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan
Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan
khusus dengan penguasa Mekkah.
Berbagai sumber telah menyebutkan
tentang kegigihan sebagian penguasa Muslim Nusantara untuk mendapatkan gelar
sultan dari Kekhilafahan Islam di Timur Tengah, yang diwakili oleh Syarif
Mekkah. Hal ini bukan saja menunjukan
hasrat kuat mereka agar mendapatkan legitimasi tetapi juga mengisyaratkan
keinginan untuk mengasosiasikan
diri dengan kekuasaan Khilafah Islam. Dengan kata lain, entitas dan Muslim polities
di kawasan Nusantara ingin diakui sebagai bagian integral dari Daulah Islam. Contoh paling konkret adalah
Aceh yang secara resmi menyatakan kepada penguasa Turki Usmani sebagai sebuah vassal
state Kesultanan Utsmani.
Oleh karena itu konsep politik dan
kekuasaan di Nusantara pada periode ini terkait erat dengan perkembangan
Khilafah Islam di Timur Tengah. Konsep ini segera menemukan tempat yang
signifikan dalam tradisi dan kultural politik di Nusantara. Untuk beberapa
waktu kondisi ini tetap bertahan hingga kemudian paradigma politik Islam di
kawasan Nusantara merosot setelah muncul periode kolonialisme di Nusantara yang
diiringi penyebaran gagasan-gagasan dan konsep politik ala Barat,
seperti Nasionalisme dan nation-state.
Penjaga
Perjalanan Haji Nusantara
Keberadaan Turki Utsmani sebagai
khilafah Islam, terutama setelah berhasil melakukan futuhat atas
Konstantinopel, ibu kota Romawi Timur, pada 857 H/1453 M, menyebabkan nama
Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di
Nusantara ialah "Sultan Rum." Istilah "Rum" tersebar untuk
menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan
kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim,
termasuk ke Nusantara.
Kekuatan politik dan militer Khilafah
Utsmaniyah mulai terasa di kawasan lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai
khalifah kaum Muslim, Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khadimul haramayn
(penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para
Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi
perjalanan haji. Turki Utsmani mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat
Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia. Kehadiran
angkataan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904 H/1498 M tidak hanya
mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga
mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini.
Bantuan
Militer
Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah
Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, ia kelihatan menyadari
kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk
mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futuhat ke
wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah
Batak. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Abesinia. Pasukan Turki
sebanyak 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar, mereka membentuk
kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya dikerahkan Al-Kahhar untuk
menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946 H/1539 M. Mendez
Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan
kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan
Pasya Utsmani di Kairo.
Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan
Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim
utusan ke Istanbul untuk menghadap "Sultan Rum". Utusan ini bernama
Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Pada Juni 1562 M, utusan Aceh
tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi
Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di
Istanbul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan
kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973
H/1564 M.
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus
berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis.
Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604
M) juga dilaporkan telah melanjutkan pula hubunghan politik dengan Turki.
Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang
kehormatan kepada Sultan Aceh, dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk
mengibarkan bendera Turki.
Pan-Islamisme di
Nusantara
Di saat Khilafah Islamiyah berada pada
masa sulit, di mana beberapa daerahnya mulai hendak diduduki oleh kaum
penjajah, muncullah upaya untuk terus mengokohkan persatuan Islam yang dimotori
oleh Sultan Abdul Hamid II. Beliau menyatakan, "Kita wajib menguatkan
ikatan kita dengan kaum Muslim di belahan bumi yang lain. Kita wajib saling
mendekat dan merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Sebab, tidak ada
harapan lagi di masa depan kecuali dengan kesatuan ini." Inilah gagasan
yang kelak dikenal sebagai Pan-Islamisme. Upaya penguatan kesatuan Islam pun
sampai ke Indonesia (Hindia Belanda).
Upaya pengokohan penyatuan ini terus
dilakukan. Hingga tahun 1904 telah ada 7 sampai 8 konsul (‘utusan' pen.) yang
pernah ditempatkan Khilafah Utsmaniyah di Hindia Belanda. Diantara aktivitas
para konsul ini adalah membagi-bagikan mushaf al-Quran atas nama sultan, dan
pencetakan karya-karya theologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di
Istambul. Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman
judulnya menyebut "Sultan Turki Raja semua orang Islam". Istilah Raja
di sini sebenarnya mengacu pada kata al-Malik yang berarti penguasa, dan semua
orang Islam mengacu pada istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut menunjukkan
deklarasi dari sang Khalifah bahwa beliau adalah penguasa kaum Muslim sedunia.
Hal ini menunjukkan bahwa khilafah Utsmaniyah terus berupaya untuk menyatukan
kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk melalui penyebaran al-Quran.
Sebagai respon terhadap gerakan
penyatuan Islam oleh Khilafah Utsmaniyah ini, di Hindia Belanda terdapat
beberapa organisasi pergerakan Islam di Hindia Belanda yang mendukung gerakan
tersebut. Abu Bakar Atjeh menyebutkan di antara organisasi tersebut adalah
Jam'iyat Khoir yang didirikan pada 17 Juli 1905 oleh keturunan Arab.
Karangan-karangan pergerakan Islam ini di Hindia Belanda dimuat dalam
surat-surat kabar dan majalah di Istambul, di antaranya majalah Al-Manar.
Khalifah Abdul Hamid II yang tinggal di Istambul pun pernah mengirimkan
utusannya ke Indonesia, bernama Ahmed Amin Bey, atas permintaan dari
perkumpulan tersebut untuk menyelidiki keadaan kaum Muslim di Indonesia.
Akibatnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan pelarangan bagi
orang-orang Arab mendatangi beberapa daerah tertentu.
Organisasi pergerakan Islam lain yang
muncul sebagai respon positif terhadap penyatuan ini adalah Sarikat Islam.
Peristiwa dikibarkannya bendera Turki Utsmani pada Kongres Nasional Sarikat
Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol solidaritas sesama muslim dan
penentangan terhadap penjajahan, menunjukkan hal tersebut. Pada masa itu, salah
satu usaha yang dilakukan Khilafah Ustmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad
dengan mengatasnamakan khalifah kepada segenap umat Islam, termasuk Indonesia,
yang dikenal sebagai Jawa.
Respon atas
Keruntuhan Khilafah
Pada permulaan tahun 1920 Khilafah
Usmani menemui babak baru. Setelah Turki dikuasai Musatafa Kemal, Turki diubah
menjadi sebuah negara republic yang sekuler dan tidak hanya itu bahkan ia
mengumumkan penghapusan kekhilafahan Islam di Turki. Peristiwa tersebut segera
mengejutkan dunia Islam dan membawa
respon sejumlah umat Islam untuk
mewujudkan kembali Khilafah Islam yang akan menyatukan mereka dan menerapkan hukum-hukum
Islam. Oleh karenanya di berbagai tempat, termasuk di Nusantara, mulai dibicarakan
ide pernegakkan khilafah kembali.
Eksistensi sejarah umat Islam Nusantara
dalam memperjuangkan khilafah telah diamini oleh para sejarawan Indonesia
maupun Barat. Diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar
Noer, Prof. Aqib Suminto, dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis
mereka. Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in
Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan bahwa umat Islam
di Indonesia tidak hanya berminat dalam masalah khilafah, tetapi juga merasa
berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Lalu Aqib Suminto
dalam disertasinya, Politik Islam Hindia
Belanda (IAIN Jakarta, 1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di
Indonesia dalam perjuangan khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang
erat antara paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah merupakan
simbol persatuan ummat Islam di seluruh belahan dunia. Hal senada juga
diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen, dalam
jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate
Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Usmani yang
kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan
penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari
umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia.
Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti dikutip van Bruinessen, hal
itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat
Islam di negeri ini”.
Dalam dinamika sejarah umat Islam di Indonesia pada
permulaan abad ke-20, terlihat bahwa perjuangan khilafah merupakan bagian dari
sejarah bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sejumlah besar dari bangsa Indonesia
yang terdiri dari para ulama, tokoh
pergerakan Islam, serta elemen ummat Islam lainnya terlibat dalam perjuangan
ini. Mereka merasa berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesaian
dalam rangka membentuk khilafah baru.
Pada
Desember 1924 di Surabaya diadakan sebuah pertemuan yang dikenal dengan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres ini
memang sangat luar biasa karena dihadiri oleh 68 organisasi Islam yang mewakili
pusat maupun cabang juga dihadiri ulama-ulama dan ribuan umat Islam yang lain.
Mereka yang hadir menyepakati sebuah rumusan khilafah yang baru. Rumusan
tersebut yakni:
1.
Agar dibentuk
suatu Majelis Khilafah yang melaksanakan kekuasaan dan kewajiban khalifah atas
dasar hukum-hukum Qur’an dan Hadits
2.
Kepala Majelis mengatur, menjaga, dan mengupayakan terlaksananya keputusan-keputusan
Majelis
3.
Kepala Majelis
dipilih oleh Majelis berdasrkan Syari’ah yang disetujui atasnya dalam
permusyawaratan khilafah kemudian pemilihan tersebut diumumkan agar mendapat
pengakuan dari seluruh umat Islam di dunia
4. Majelis
Khilafah mengupayakan persamaan paham dan peraturan bagi segala perkara hukum
Islam
5. Majelis
Khilafah hendaklah berada di Mekkah
6. Tentang
biaya untuk Majelis Khilafah bersama-sama perlu ditemukan kesepakatan dengan
umat Islam yang lain atas hal ini.
Sikap mereka
ini tidak terlepas dari pengaruh Pan-Islamisme. Cita-cita persatuan Islam dalam
satu pemerintahan Islam yang merdeka menjadi sebuah harapan besar bagi mereka
yang saat itu hidup dibawah penjajahan bangsa asing dan kafir. Untuk beberapa
waktu cita-cita internasional ini masih tetap bertahan hingga kemudian mereka
melupakannya dan mengalihkan perhatian mereka kepada cita-cita nasionalisme
yakni menuju negara bangsa yang merdeka. Sejak saat itu perjuangan khilafah
berangsur-angsur hilang tergantikan oleh perjuangan nasionalisme.
Dilupakannya persoalan khilafah oleh
ummat Islam Indonesia dikarenakan terjadinya perubahan orientasi perjuangan
sejumlah pergerakan pada masa itu. NU, Muhammadiyyah, dan Al-Irsyad lebih
memfokus perjuangan mereka ke bidang sosial dan pendidikan. Selain itu,
perselisihan paham yang telah lama terjadi di antara kelompok pembaharu yang
diwakili Muhamadiyyah dan Al-Irsyad, dengan kelompok tradisional (NU), kian
meruncing sehingga persoalan khilafah yang semula menjadi perjuangan bersama
pada akhirnya ditinggalkan.
Penyebab yang lain, Sarekat Islam yang paling
konsen dalam menjaga persatuan umat Islam di Indonesia sudah tidak berkharisma
lagi dihadapan umat Islam yang lain setelah Sarekat Islam justru ikut terjerat
dalam perselisihan internal umat Islam. Sejak saat itu perjuangan Sarekat Islam
sudah tidak lagi mewakili aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Mereka juga
tidak bisa lagi mengklaim sebagai pelopor gerakan nasional setelah ada PNI yang
menggantikan posisi mereka dengan gagasan nasionalismenya. Selain itu sokongan
dunia Islam terhadap persoalan khilafah yang menghilang, akibat konspirasi
Barat, mengakibatkan Sarekat Islam meninggalkan perjuangan khilafah dan
mengalihkannya pada perjuangan Islam dalam konteks kebangsaan.
Penutup
Setelah menelusuri realita
Sejarah Indonesia, dapat ditemui ternyata Nusantara memiliki hubungan yang
panjang dan luas dengan kekuasaan Khilafah di Timur Tengah. Pada setiap
pembabakan Sejarah Indonesia didapati bahwa Khilafah Islam memiliki pengaruh
politik-keagamaan di Nusantara. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha ternyata
Khilafah mendapat pengakuan dari raja-raja. Kemudian pada zaman Kesultanan,
banyak penguasa Muslim yang mengidentikan kekuasaan mereka dengan Khilafah
Islam. Pada zaman penjajahan Eropa, militer Khilafah telah sampai di Nusantara
dan membantu Muslim Nusantara melawan serangan Eropa. Terlebih pada saat zaman
pergerakan nasional, pengaruh Pan-Islamisme yang dicetuskan Sultan Abdul Hamid
telah menggerakan Muslim di Nusantara dan menjadi cita-cita perjuangan bersama.
Begitupun saat Khilafah Islam runtuh, muslim Nusantara turut tergerak untuk
menegakkan kembali Khilafah Islam.
Realita sejarah ini bukanlah dalil
atau pebenaran ataupun penolakan bagi perjuangan penegakkan Khilafah di masa
ini dan masa yang akan datang. Ia hanya suatu realita yang harus dibaca apa
adanya dan tidak harus ditutup-tutupi. Yang terpenting saat ini adalah realita
ini harus dipahami dengan pemahaman
Islam yang lurus dengan sifat adil dan mendalam. Wallahu’alam.
Rujukan
Jurnal
Anthony
Reid, “Habib Abdur-Rahman Az-Zahir (1833-1896)” , dalam Indonesia, No.13 1972, hlm. 36 59.
---
“Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia”, dalam JSTOR,
Vol. 26,
No.2,
1967, hlm. 267-253.
---
“Sixteenth Century Turkish Influence in Western Indonesia”, dalam JSTOR, Vol.
10, No.3, 1969, hlm.
395-414.
395-414.
Martin
van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and The Caliphate Question”, dalam Studia Islamika, Vol 2, No. 3,
1995, hlm. 115-140.
Buku
Al-Attas,
S.M.N Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan
Melayu. Bandung: Mizan, 1977.
---
Historical Fact and Fiction. Kula
Lumpur: UTM Press, 2011.
Al-Baghdadiy.
Refleksi Sejarah Terhadap Dakwah Masa
Kini. Bogor: Al Azhar Press, 2002.
Aziz,
Abdul. Chiefdom Madinah Salah Paham
Negara Islam. Jakarta: Alvabet, 2011.
Azra,
Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
& XVIII Akar
Pembaharuan
Islam Indonesia Edisi Perenial. Jakarta:
Kencana, 2013.
--- Renaisans Islam Asia
Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Basri, Yusmar. (Ed.). Sejarah
Nasional Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1975.
Kaptein, Nico J.G.. Kekacauan
dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan- Islamisme
di Hindia Belanda Timur pada Akhir
Abad Kesembilan Belas dan Awal Abad
Kedua Puluh. Jakarta: INIS, 2003.
Noer,
Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942. Jakarta: LP3ES,
1996.
Poesponegoro,
Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1990.
Ricklefs,
M. C.. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2008.
Subarkah,
Amin. Pengaruh Pan-Islamisme terhadap
Kebangkitan Golongan Arab di Jakarta 1901-1941. Depok:
Ulinnuha Press, 2001.
Sunanto,
Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam
Indonesia. Jakarta: Grafindo, 2012.
Suminto,
Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1996.
Suryanegara,
Ahmad Mansur. Api Sejarah. Jakarta: Salamadani Pustaka Utama, 2009.
NB.
Cacatan Kaki tidak ada karena tidak sempat dibuat sudah kepepet deadline.
[1]
Disampaikan pada acara Halqah Syahriyyah
Hizbut Tahrir Indonesia Mahaliyah Bogor Selatan, Bogor, 16 Februari 2014
[2]
Alumni Ilmu Sejarah UI. Peneliti Sejarah pada komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)/ jejakislam.net
0 komentar:
Posting Komentar