Minggu, 16 Februari 2014

Nusantara dan Khilafah dalam Realita Sejarah Indonesia

Minggu, 16 Februari 2014 0
Nusantara dan Khilafah dalam Realita Sejarah Indonesia[1]
Oleh Septian A.W., S.Hum.[2]

This development created confusion in the Muslim world in general which began to ponder about the establishment of a new caliph. The Muslim community in Indonesia was not only interested in this question, but considered it also as their duty to discuss it and attempt to find a solution to it.
--Prof. Deliar Noer
Pengantar
Telah lama ‘Nusantara’ menjadi sebutan yang popular untuk menunjukan kawasan Indonesia saat ini. Sebuah kawasan yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang dihubungkan dengan laut dan sejak berabad-abad silam telah menjadi jalur perdagangan laut internasioanl. Sebab posisinya sebagai bagian jalur perdagangan ini, Nusantara memiliki akses yang mudah dengan dunia luar serta tentu terlibat dalam interaksi internasional sehingga mendapat banyak pengaruh dari peradaban sekitarnya.
Segenap peradaban yang berdiri kokoh di luar akan masuk dan mengubah sistem kehidupan di Nusantara. Tak terkecuali dengan peradaban Islam yang sejak abad ke 6 M tengah tumbuh  di Timur Tengah tepatnya di sebelah sisi barat Nusantara. Interaksi Nusantara dengan kawasan Timur Tengah sudah pernah ada sejak Islam pertama kali muncul. Pada awalnya interaksi tersebut lebih berbentuk relasi ekonomi dan perdagangan, namun pada saat Timur Tengah telah berada dalam kekuasaan Khilafah Islam, relasi tersebut meluas menjadi relasi politik-keagamaan dan intelektual.
Makalah ini akan membahas relasi politik-keagamaan antara penguasa pribumi Nusantara dan penguasa Khilafah Islam ditinjau dari sudut Indonesia sentris dan mengikuti pembabakan (kronologi) sejarah Indonesia. Pembahasan tersebut akan dikupas sejauh sumber sejarah yang telah penulis temukan dalam bentuk buku sekunder maupun jurnal ilmiah. Melalui pembahasan ini diharapkan akan tergambar eksistensi dan pengaruh Khilafah Islam dalam sejarah Indonesia, mengingat hal ini penting untuk selalu diungkap pada saat ini untuk menghadang arus de-Islamisasi sejarah Indonesia.

Korespondensi dan Pengakuan
            Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang. Kontak paling awal antara kedua wilyah ini, khususnya berkaitan dengan perdagangan, bermula sejak masa Phunisia dan Saba’. Kehadiran Muslim Timur Tengah ke Nusantara pada masa-masa awal pertama kali disebutkan oleh agawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing yang pada 51 H/617 M.  sampai ke Palembang yang merupakan ibu kota kerajaan Buddha Sriwijaya. Mereka yang berada di Nusantara merupakan para pedagang yang kaya dan memiliki kekuatan ekonomi. Dalam padangan Azyumardi Azra, interaksi mereka di Palembang  ini yang merupakan salah satu factor penting pendorong raja Sriwijaya mengirim surat kepada Khalifah Bani Abasiyah.
            Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah di Nusantara masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha . Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Nusantara yang tercatat memberikan pengakuan terhadap kebesaran Khalifah. Pengakuan ini dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh raja Sriwijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Mu’awiyah, dan surat kedua dikirim kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz.
            Surat pertama ditemui dalam sebuah diwan (sekretaris) Mua’awiyah dan memiliki gaya tipikal surat-surat resmi penguasa Nusantara. Diriwayatkan pembukaan surat tersebut: 
(Dari Raja al-Hind – atau tepatnya Kepulauan India) yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gahana (aloes), kepada Mu’awiyah…”
            Surat kedua, yang mempunyai nada yang sama, jauh lebih lengkap. Surat yang ditunjukan kepada Khalifah ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz itu menunjukkan betapa hebatnya Maharaja dan kerajaannya:
“Nu’aym bin Hammad menulis: “Raja al-Hind (Kepulauan) mengirim sepucuk surat kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz, yang berbunyi sebagai berikut: “Dari Raja Diraja (Malik al-Malik = maharaja); yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab (‘Umar bin “Abd al-‘Aziz), yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya (atau di dalam versi lain, yang akan menjelaskan Islam dan menjelaskannya kepada saya).”
            Dari pemaparan di atas dapat dipahami Khilafah Islam telah menunjukan eksistensinya di Nusantara sejak masa Kerajaan Hindu-Budha atau sejak Khilafah itu sendiri kokoh menjadi Negara yang menaungi berbagai bangsa di dunia. Khilafah pun mendapatkan pengakuan dari raja Nusantara sehingga muncul ketertarikan mereka kepada dakwah Islam. Hal ini yang pada perkembangan selanjutnya menjadi faktor  yang mengkonversi masyarakat di Nusantara terutama di para penguasanya menjadi masyarkat Muslim dan muncul pemerintahan baru bercorak kesultanan.

Bahasa Politik Islam
Meskipun wilayah Muslim Asia Tenggara scara kultural kurang ter-arabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan social keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku di Nusantara mengadupsi peritilahan Arab ke dalam kehidupan mereka. Sejumlah kosakata Arab yang ‘diadopsi masyarakat Nusantara berkaitan dengan permasalahan politik. Untuk menyebut contoh misalkan, daulat, sultan, khalifah, baiat, tadbir, harb, jihad, aman, majlis, musyawarah, hukum, qanun, dsb. Penggunaan kosakata politik Islam dapat dipastikan menjadi meluas ketika institusi politik Islam mulai berdiri pada akhir abad’ ke-13. Dengan konversi penguasa ke Islam, entitas politik yang selama ini dikenal sebagai ‘kerajaan” kini secara resmi disebut “kesultanan”.
Sejumlah penguasa Muslim di Nusantara mengusahakan legitimasi gelar sultan mereka dari penguasa politik dan keagamaan di Timur Tengah. Penguasa Banten, Abd al-Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima anugerah gelar sultan dari Syarif Mekkah. Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada 1641 mengirimkan utusan ke Hijaz menghadap Syarif Mekkah, tanpa banyak tanya Syarif langsung memberikan gelar sultan kepada Pangeran Rangsang, yang selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
Berbagai sumber telah menyebutkan tentang kegigihan sebagian penguasa Muslim Nusantara untuk mendapatkan gelar sultan dari Kekhilafahan Islam di Timur Tengah, yang diwakili oleh Syarif Mekkah. Hal ini bukan saja menunjukan  hasrat kuat mereka agar mendapatkan legitimasi tetapi juga mengisyaratkan keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan kekuasaan Khilafah Islam. Dengan kata lain, entitas dan Muslim polities di kawasan Nusantara ingin diakui sebagai bagian integral dari Daulah Islam. Contoh paling konkret adalah Aceh yang secara resmi menyatakan kepada penguasa Turki Usmani sebagai sebuah vassal state Kesultanan Utsmani.
Oleh karena itu konsep politik dan kekuasaan di Nusantara pada periode ini terkait erat dengan perkembangan Khilafah Islam di Timur Tengah. Konsep ini segera menemukan tempat yang signifikan dalam tradisi dan kultural politik di Nusantara. Untuk beberapa waktu kondisi ini tetap bertahan hingga kemudian paradigma politik Islam di kawasan Nusantara merosot setelah muncul periode kolonialisme di Nusantara yang diiringi penyebaran gagasan-gagasan dan konsep politik ala Barat, seperti Nasionalisme dan nation-state.

Penjaga Perjalanan Haji Nusantara
Keberadaan Turki Utsmani sebagai khilafah Islam, terutama setelah berhasil melakukan futuhat atas Konstantinopel, ibu kota Romawi Timur, pada 857 H/1453 M, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah "Sultan Rum." Istilah "Rum" tersebar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.
Kekuatan politik dan militer Khilafah Utsmaniyah mulai terasa di kawasan lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum Muslim, Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khadimul haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Turki Utsmani mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia. Kehadiran angkataan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904 H/1498 M tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini.

Bantuan Militer
Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Abesinia. Pasukan Turki sebanyak 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar, mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya dikerahkan Al-Kahhar untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.
Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap "Sultan Rum". Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973 H/1564 M.
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan pula hubunghan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh, dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki.
  
Pan-Islamisme di Nusantara
Di saat Khilafah Islamiyah berada pada masa sulit, di mana beberapa daerahnya mulai hendak diduduki oleh kaum penjajah, muncullah upaya untuk terus mengokohkan persatuan Islam yang dimotori oleh Sultan Abdul Hamid II. Beliau menyatakan, "Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan kaum Muslim di belahan bumi yang lain. Kita wajib saling mendekat dan merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Sebab, tidak ada harapan lagi di masa depan kecuali dengan kesatuan ini." Inilah gagasan yang kelak dikenal sebagai Pan-Islamisme. Upaya penguatan kesatuan Islam pun sampai ke Indonesia (Hindia Belanda).
Upaya pengokohan penyatuan ini terus dilakukan. Hingga tahun 1904 telah ada 7 sampai 8 konsul (‘utusan' pen.) yang pernah ditempatkan Khilafah Utsmaniyah di Hindia Belanda. Diantara aktivitas para konsul ini adalah membagi-bagikan mushaf al-Quran atas nama sultan, dan pencetakan karya-karya theologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di Istambul. Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman judulnya menyebut "Sultan Turki Raja semua orang Islam". Istilah Raja di sini sebenarnya mengacu pada kata al-Malik yang berarti penguasa, dan semua orang Islam mengacu pada istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut menunjukkan deklarasi dari sang Khalifah bahwa beliau adalah penguasa kaum Muslim sedunia. Hal ini menunjukkan bahwa khilafah Utsmaniyah terus berupaya untuk menyatukan kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk melalui penyebaran al-Quran.
Sebagai respon terhadap gerakan penyatuan Islam oleh Khilafah Utsmaniyah ini, di Hindia Belanda terdapat beberapa organisasi pergerakan Islam di Hindia Belanda yang mendukung gerakan tersebut. Abu Bakar Atjeh menyebutkan di antara organisasi tersebut adalah Jam'iyat Khoir yang didirikan pada 17 Juli 1905 oleh keturunan Arab. Karangan-karangan pergerakan Islam ini di Hindia Belanda dimuat dalam surat-surat kabar dan majalah di Istambul, di antaranya majalah Al-Manar. Khalifah Abdul Hamid II yang tinggal di Istambul pun pernah mengirimkan utusannya ke Indonesia, bernama Ahmed Amin Bey, atas permintaan dari perkumpulan tersebut untuk menyelidiki keadaan kaum Muslim di Indonesia. Akibatnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan pelarangan bagi orang-orang Arab mendatangi beberapa daerah tertentu.
Organisasi pergerakan Islam lain yang muncul sebagai respon positif terhadap penyatuan ini adalah Sarikat Islam. Peristiwa dikibarkannya bendera Turki Utsmani pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol solidaritas sesama muslim dan penentangan terhadap penjajahan, menunjukkan hal tersebut. Pada masa itu, salah satu usaha yang dilakukan Khilafah Ustmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad dengan mengatasnamakan khalifah kepada segenap umat Islam, termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai Jawa.

Respon atas Keruntuhan Khilafah
Pada permulaan tahun 1920 Khilafah Usmani menemui babak baru. Setelah Turki dikuasai Musatafa Kemal, Turki diubah menjadi sebuah negara republic yang sekuler dan tidak hanya itu bahkan ia mengumumkan penghapusan kekhilafahan Islam di Turki. Peristiwa tersebut segera mengejutkan dunia Islam dan  membawa respon sejumlah umat Islam  untuk mewujudkan kembali Khilafah Islam yang akan menyatukan mereka dan menerapkan hukum-hukum Islam. Oleh karenanya di berbagai tempat, termasuk di Nusantara, mulai dibicarakan ide pernegakkan khilafah kembali.
Eksistensi sejarah umat Islam Nusantara dalam memperjuangkan khilafah telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun Barat. Diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto, dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka. Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia tidak hanya berminat dalam masalah khilafah, tetapi juga merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Lalu Aqib Suminto dalam disertasinya, Politik Islam Hindia Belanda (IAIN Jakarta, 1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia dalam perjuangan khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang erat antara paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah merupakan simbol persatuan ummat Islam di seluruh belahan dunia. Hal senada juga diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Usmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti dikutip van Bruinessen, hal itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini”.
Dalam  dinamika sejarah umat Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20, terlihat bahwa perjuangan khilafah merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sejumlah besar dari bangsa Indonesia yang terdiri  dari para ulama, tokoh pergerakan Islam, serta elemen ummat Islam lainnya terlibat dalam perjuangan ini. Mereka merasa berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesaian dalam rangka membentuk khilafah baru.
Pada Desember 1924 di Surabaya diadakan sebuah pertemuan yang dikenal dengan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres ini memang sangat luar biasa karena dihadiri oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pusat maupun cabang juga dihadiri ulama-ulama dan ribuan umat Islam yang lain. Mereka yang hadir menyepakati sebuah rumusan khilafah yang baru. Rumusan tersebut yakni:
1.      Agar dibentuk suatu Majelis Khilafah yang melaksanakan kekuasaan dan kewajiban khalifah atas dasar hukum-hukum Qur’an dan Hadits
2.      Kepala Majelis mengatur, menjaga, dan mengupayakan terlaksananya keputusan-keputusan Majelis
3.      Kepala Majelis dipilih oleh Majelis berdasrkan Syari’ah yang disetujui atasnya dalam permusyawaratan khilafah kemudian pemilihan tersebut diumumkan agar mendapat pengakuan dari seluruh umat Islam di dunia
4.      Majelis Khilafah mengupayakan persamaan paham dan peraturan bagi segala perkara hukum Islam
5.      Majelis Khilafah hendaklah berada di Mekkah
6.      Tentang biaya untuk Majelis Khilafah bersama-sama perlu ditemukan kesepakatan dengan umat Islam yang lain atas hal ini.
Sikap mereka ini tidak terlepas dari pengaruh Pan-Islamisme. Cita-cita persatuan Islam dalam satu pemerintahan Islam yang merdeka menjadi sebuah harapan besar bagi mereka yang saat itu hidup dibawah penjajahan bangsa asing dan kafir. Untuk beberapa waktu cita-cita internasional ini masih tetap bertahan hingga kemudian mereka melupakannya dan mengalihkan perhatian mereka kepada cita-cita nasionalisme yakni menuju negara bangsa yang merdeka. Sejak saat itu perjuangan khilafah berangsur-angsur hilang tergantikan oleh perjuangan nasionalisme.
Dilupakannya persoalan khilafah oleh ummat Islam Indonesia dikarenakan terjadinya perubahan orientasi perjuangan sejumlah pergerakan pada masa itu. NU, Muhammadiyyah, dan Al-Irsyad lebih memfokus perjuangan mereka ke bidang sosial dan pendidikan. Selain itu, perselisihan paham yang telah lama terjadi di antara kelompok pembaharu yang diwakili Muhamadiyyah dan Al-Irsyad, dengan kelompok tradisional (NU), kian meruncing sehingga persoalan khilafah yang semula menjadi perjuangan bersama pada akhirnya ditinggalkan.
Penyebab yang lain, Sarekat Islam yang paling konsen dalam menjaga persatuan umat Islam di Indonesia sudah tidak berkharisma lagi dihadapan umat Islam yang lain setelah Sarekat Islam justru ikut terjerat dalam perselisihan internal umat Islam. Sejak saat itu perjuangan Sarekat Islam sudah tidak lagi mewakili aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Mereka juga tidak bisa lagi mengklaim sebagai pelopor gerakan nasional setelah ada PNI yang menggantikan posisi mereka dengan gagasan nasionalismenya. Selain itu sokongan dunia Islam terhadap persoalan khilafah yang menghilang, akibat konspirasi Barat, mengakibatkan Sarekat Islam meninggalkan perjuangan khilafah dan mengalihkannya pada perjuangan Islam dalam konteks kebangsaan.

Penutup
            Setelah menelusuri realita Sejarah Indonesia, dapat ditemui ternyata Nusantara memiliki hubungan yang panjang dan luas dengan kekuasaan Khilafah di Timur Tengah. Pada setiap pembabakan Sejarah Indonesia didapati bahwa Khilafah Islam memiliki pengaruh politik-keagamaan di Nusantara. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha ternyata Khilafah mendapat pengakuan dari raja-raja. Kemudian pada zaman Kesultanan, banyak penguasa Muslim yang mengidentikan kekuasaan mereka dengan Khilafah Islam. Pada zaman penjajahan Eropa, militer Khilafah telah sampai di Nusantara dan membantu Muslim Nusantara melawan serangan Eropa. Terlebih pada saat zaman pergerakan nasional, pengaruh Pan-Islamisme yang dicetuskan Sultan Abdul Hamid telah menggerakan Muslim di Nusantara dan menjadi cita-cita perjuangan bersama. Begitupun saat Khilafah Islam runtuh, muslim Nusantara turut tergerak untuk menegakkan kembali Khilafah Islam.
            Realita sejarah ini bukanlah dalil atau pebenaran ataupun penolakan bagi perjuangan penegakkan Khilafah di masa ini dan masa yang akan datang. Ia hanya suatu realita yang harus dibaca apa adanya dan tidak harus ditutup-tutupi. Yang terpenting saat ini adalah realita ini harus dipahami dengan  pemahaman Islam yang lurus dengan sifat adil dan mendalam. Wallahu’alam.

 Rujukan
Jurnal
Anthony Reid, “Habib Abdur-Rahman Az-Zahir (1833-1896)” , dalam Indonesia, No.13 1972, hlm. 36   59.
--- “Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia”, dalam JSTOR, Vol. 26,
No.2, 1967, hlm. 267-253.
--- “Sixteenth Century Turkish Influence in Western Indonesia”, dalam JSTOR, Vol. 10, No.3, 1969, hlm.
395-414.
Martin van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and The Caliphate Question”, dalam Studia Islamika, Vol 2, No. 3, 1995,  hlm. 115-140.

Buku
Al-Attas, S.M.N Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1977.
--- Historical Fact and Fiction. Kula Lumpur: UTM Press, 2011.
Al-Baghdadiy. Refleksi Sejarah Terhadap Dakwah Masa Kini. Bogor: Al Azhar Press, 2002.
Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam. Jakarta: Alvabet, 2011.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar
Pembaharuan Islam Indonesia Edisi Perenial. Jakarta: Kencana, 2013.
--- Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.  
Basri, Yusmar. (Ed.). Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Departemen   Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.
Kaptein, Nico J.G.. Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan- Islamisme di Hindia Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas dan Awal Abad Kedua Puluh. Jakarta: INIS, 2003.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Ricklefs, M. C.. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2008.
Subarkah, Amin.  Pengaruh Pan-Islamisme terhadap Kebangkitan Golongan Arab di Jakarta 1901-1941. Depok: Ulinnuha Press, 2001.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Grafindo, 2012.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1996.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah. Jakarta: Salamadani Pustaka Utama, 2009.
  
NB. Cacatan Kaki tidak ada karena tidak sempat dibuat sudah kepepet deadline.        



[1] Disampaikan pada acara Halqah Syahriyyah Hizbut Tahrir Indonesia Mahaliyah Bogor Selatan, Bogor, 16 Februari 2014
[2] Alumni Ilmu Sejarah UI. Peneliti Sejarah pada komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)/ jejakislam.net

Selasa, 22 Oktober 2013

Gelombang Pertama Perjuangan Khilafah di Indonesia

Selasa, 22 Oktober 2013 3
Sesungguhnya perjuangan penegakan Khilafah Islamiyah merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah besar bangsa Indonesia. Penelusuran sumber-sumber sejarah yang ada menunjukkan bahwa segera setelah keruntuhan Khilafah Turki Usmani, sejumlah besar tokoh pergerakan beserta ummat Islam turut terlibat dalam perjuangan penegakan kembali Khilafah Islam. Sebut saja H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Agus Salim, K.H. Fakhrudin dan K.H. Mas Mansur. Mereka bukan sekadar pahlawan nasional, Lebih dari itu, mereka adalah aktor penting perjuangan Khilafah kala itu.

Pemberangkatan H.O.S Tjokroaminoto ke Kongres di Mekkah 1926, salah satu agendanya adalah hendak membicarakan perjuangan Khilafah dengan umat Islam seduniaPemberangkatan H.O.S Tjokroaminoto ke Kongres di Mekkah 1926.




Meskipun cukup singkat dan segera lenyap tergerus arus perjuangan nasionalisme, fakta sejarah ini harus diungkap supaya tidak ada missing link dalam sejarah perjalanan bangsa. Adalah hak seluruh anak bangsa untuk memahami sejarah perjuangan pendahulunya secara utuh tanpa ada yang disembunyikan. Dengan demikian, kita dapat memetik pelajaran berharga sebagai bekal untuk menjalani kehidupan saat ini.

Perjuangan Khilafah 1924-1927
Eksistensi sejarah umat Islam Indonesia dalam memperjuangkan khilafah telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun Barat. Diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto, dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka.

Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia tidak hanya berminat dalam masalah khilafah, tetapi juga merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Lalu Aqib Suminto dalam disertasinya, Politik Islam Hindia Belanda (IAIN Jakarta, 1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia dalam perjuangan khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang erat antara paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah merupakan simbol persatuan ummat Islam di seluruh belahan dunia.

Hal senada juga diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Usmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti dikutip van Bruinessen, hal itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini”.

Selanjutnya penulis juga telah melakukan penelitian sejarah dengan basis akademik yang ketat mengenai perjuangan khilafah saat itu dengan judul penelitian Peran Surat Kabar Bandera Islam dalam Perjuangan Khilafah 1924-1927 (UI, 2013). Penulis berusaha melengkapi penelitian-penelitian yang telah ada dengan cara melakukan penelusuran langsung sumber-sumber sejarah yang otentik, baik sumber primer maupun sekunder. Salah satu sumber otentik yang ditemukan sekaligus menjadi obyek penelitian adalah sebuah surat kabar yang terbit pada tahun 1924 hingga 1927 yang bernama Bandera Islam

Surat Kabar Bandera Islam edisi  "Chilaafat" Kamis 25 Desember 1924

Surat kabar yang sampai sekarang masih tersimpan dalam kondisi baik ini diterbitkan oleh Sarekat Islam: salah satu organisasi yang memperjuangkan Khilafah saat itu. Dahulu surat kabar ini digunakan oleh Sarekat Islam sebagai media propaganda dalam perjuangan khilafah. Oleh karena itu, Bendera Islam banyak memuat rekam jejak potret perjuangan khilafah pada masa itu. Dengan menilik kembali surat kabar Bendera Islam, kita dapat memahami antusiasme perjuangan khilafah di Indonesia pada masa itu.

Setelah penulis menelusuri dinamika umat Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20, terlihat bahwa perjuangan khilafah merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sejumlah besar dari bangsa Indonesia yang terdiri dari para ulama, tokoh pergerakan Islam, serta elemen ummat Islam lainnya terlibat dalam perjuangan ini. Mereka merasa berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesaian dalam rangka membentuk khilafah baru.

Pada Desember 1924 di Surabaya diadakan sebuah pertemuan yang dikenal dengan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres ini memang sangat luar biasa karena dihadiri oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pusat maupun cabang juga dihadiri ulama-ulama dan ribuan umat Islam yang lain. Mereka yang hadir menyepakati sebuah rumusan khilafah yang baru. Rumusan tersebut yakni:
1. Agar dibentuk suatu Majelis Khilafah yang melaksanakan kekuasaan dan kewajiban khalifah atas dasar hukum-hukum Qur’an dan Hadits
2. Kepala Majelis mengatur, menjaga, dan mengupayakan terlaksananya keputusan-keputusan Majelis
3. Kepala Majelis dipilih oleh Majelis berdasrkan Syari’ah yang disetujui atasnya dalam permusyawaratan khilafah kemudian pemilihan tersebut diumumkan agar mendapat pengakuan dari seluruh umat Islam di dunia
4. Majelis Khilafah mengupayakan persamaan paham dan peraturan bagi segala perkara hukum Islam
5. Majelis Khilafah hendaklah berada di Mekkah
6. Tentang biaya untuk Majelis Khilafah bersama-sama perlu ditemukan kesepakatan dengan umat Islam yang lain atas hal ini.

Sikap mereka ini tidak terlepas dari pengaruh Pan-Islamisme. Cita-cita persatuan Islam dalam satu pemerintahan Islam yang merdeka menjadi sebuah harapan besar bagi mereka yang saat itu hidup dibawah penjajahan bangsa asing dan kafir. Untuk beberapa waktu cita-cita internasional ini masih tetap bertahan hingga kemudian mereka melupakannya dan mengalihkan perhatian mereka kepada cita-cita nasionalisme yakni menuju negara bangsa yang merdeka.

Sejak saat itu perjuangan khilafah berangsur-angsur hilang tergantikan oleh perjuangan nasionalisme. Dilupakannya persoalan khilafah oleh ummat Islam Indonesia dikarenakan terjadinya perubahan orientasi perjuangan sejumlah pergerakan pada masa itu. NU, Muhammadiyyah, dan Al-Irsyad lebih memfokus perjuangan mereka ke bidang sosial dan pendidikan. Selain itu, perselisihan paham yang telah lama terjadi di antara kelompok pembaharu yang diwakili Muhamadiyyah dan Al-Irsyad, dengan kelompok tradisional (NU), kian meruncing sehingga persoalan khilafah yang semula menjadi perjuangan bersama pada akhirnya ditinggalkan.

Penyebab yang lain, Sarekat Islam yang paling konsen dalam menjaga persatuan umat Islam di Indonesia sudah tidak berkharisma lagi dihadapan umat Islam yang lain setelah Sarekat Islam justru ikut terjerat dalam perselisihan internal umat Islam. Sejak saat itu perjuangan Sarekat Islam sudah tidak lagi mewakili aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Mereka juga tidak bisa lagi mengklaim sebagai pelopor gerakan nasional setelah ada PNI yang menggantikan posisi mereka dengan gagasan nasionalismenya. Selain itu sokongan dunia Islam terhadap persoalan khilafah yang menghilang, akibat konspirasi Barat, mengakibatkan Sarekat Islam meninggalkan perjuangan khilafah dan mengalihkannya pada perjuangan Islam dalam konteks kebangsaan. Maka sejak saat itulah perjuangan khilafah tidak terdengar lagi di Indonesia hingga kemudian muncul pada saat ini gelombang kedua perjuangan khilafah di Indonesia.

Penutup
Bendera Islam menjadi bukti sejarah bahwa perjuangan penegakan Khilafah Islam di Indonesia telah dimulai sejak awal keruntuhan Khilafah Turki Utsmani meski perjuangan itu belum membuahkan hasil yang dicita-citakan hingga detik ini. Pergerakan-pergerakan yang memperjuangkannya telah menemui kegagalan. Sejarah kegagalan ini seyogianya menjadi pelajaran bagi umat Islam di Indonesia. Terutama menjadi bahan evaluasi bagi mereka yang terlibat dalam gelombang perjuangan penegakan khilafah hari ini. Dengan begitu agar tidak mengulang kembali kegagalan perjuangan khilafah di Indonesia

Selasa, 08 Januari 2013

Peran Surat Kabar Bandera Islam dalam Perjuangan Khilafah 1924-1927

Selasa, 08 Januari 2013 0

Disampaikan dalam sidang skripsi program studi Ilmu Sejarah FIB UI, Depok 7 Januari 2013.
Oleh Septian A.W.[i]

Pengantar
Pada tahun 1920-an, umat Islam Indonesia terlibat dalam perjuangan khilafah. Sebuah perjuangan yang bertujuan mewujudkan cita-cita Pan-Islamisme yakni pembentukan sebuah pemerintahan Islam yang menyatukan umat Islam di seluruh belahan dunia dalam satu peraturan hidup Islam. Untuk beberapa tahun mereka tetap terlibat dalam perjuangan ini. Sarekat Islam adalah salah satu kelompok umat Islam Indonesia yang terlibat. Pada tahun 1924 Sarekat Islam menerbitkan Bandera Islam, sebuah surat kabar yang digunakannya untuk kepentingan perjuangan khilafah. Oleh karena itu surat kabar yang terbit hingga tahun 1927 ini memuat banyak tulisan seputar perjuangan khilafah. Skripsi ini membahas peran Bandera Islam dalam perjuangan khilafah.

1.1 Latar Belakang
Turki Usmani (Ottoman) menjadi pihak yang kalah dalam Perang Dunia menyisakan kondisi pemerintahan yang lemah dan kacau. Dalam situasi tersebut muncul Mustafa Kemal Pasha di panggung politik Turki. Pada 1922 dia mengubah bentuk pemerintahan di Turki dari sistem khilafah menjadi republik.

Awalnya jabatan khalifah masih dipertahankan dengan tanpa kekuasaan duniawi. Namun pada perkembangannya khalifah saat itu, Abdul Majid, masih memiliki pengaruh yang kuat. Melihat perkembangan tersebut, pada 3 Maret 1924  melalui Majelis Nasional Turki, Mustafa Kemal Pasha secara resmi menghapus Kekhilafahan Turki Usmani. Dengan demikian, sistem pemerintah yang selama ratusan tahun telah dijalankan Turki ini berakhir dan Abdul Majid, sebagai khalifah terakhir, diusir dari Turki.

Berita penghapusan tersebut segera menyebar dan mengejutkan dunia Islam. Kenyataan ini tidak terlepas dari eksistensi paham Pan-Islamisme yang mempengaruhi banyak umat Islam. Sebuah paham yang mencita-citakan persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Beberapa saat kemudian peristiwa ini langsung menjadi perbincangan di berbagai tempat.

Kairo Maret 1924: Ulama Al-Azhar sepakat bahwa jabatan khalifah Abdul Majid sudah tidak sah saat dia dilengserkan Mustafa dan khalifah wajib ada untuk memimpin umat Islam oleh karena itu mereka berencana akan mengundang perwakilan dunia Islam pada Maret 1925 untuk menetapkan khalifah yang baru.

Mekkah April 1924: Syarif Husein, penguasa Mekkah saat itu, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah yang baru namun usahanya ini tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas umat Islam karena dianggap seorang antek Inggris.

Garut Mei 1924: Tokoh-tokoh pergerakan Islam dan ulama di Indonesia berkumpul pada Kongres Al-Islam II di Garut diantaranya membahas persoalan khilafah; H. Agus Salim mendesak kongres untuk terlibat dalam persoalan ini dan mencari solusinya.

Perkembangan situasi di Turki tersebut menimbulkan kebingungan pada dunia Islam secara umum, yang mulai berfikir untuk membentuk suatu kekhilafahan baru. Umat Islam di Indonesia bukan saja berminat dalam persoalan ini, bahkan merasa berkewajiban membahas dan mencari penyelesaiannya (Noer, 1996: 242). Jadi wajar mereka memberikan respon yang besar saat berita ini sampai di Indonesia.

Pada 4-5 Oktober 1924 para pemimpin Sarekat Islam, Muahmmadiyah dan Al-Irsyad serta ulama-ulama besar  dari kalangan Arab dan Jawa berkumpul di Madrasah Tarbiatoel Aitam untuk mencari penyelesaian atas persoalan ini. Dalam pertemuan ini terjadi diskusi yang panjang tentang  khilafah. Tjokroaminoto dalam pidatonya menyampaikan tentang perlunya umat Islam memilki seorang khalifah dan peran aktif umat Islam Indonesia untuk kepentingan khilafah. Pertemuan ini menyepakati bahwa: 1. Khilafah wajib ada, 2. Membentuk Komite Khilafah, dan 3. Berpartisipasi dalam Kongres di Kairo.

Pertemuan ini menjadi pertemuan yang membahas khilafah yang pertama kali diadakan di Indonesia. Sejak saat itu gagasan untuk menegakkan khilafah bergulir di Indonesia dan menjadi pembahasan dalam Kongres-kongres Al-Islam, sebuah pertemuan wakil-wakil kelompok Islam di Indonesia. Kondisi ini tetap bertahan hingga beberapa tahun kedepan.

Sarekat Islam adalah salah satu kelompok umat Islam Indonesia yang terlibat dan memiliki peran yang paling dominan dibandingkan dengan yang lain. Organisasi yang menjadi inspirator Kongres Al-Islam ini tampil sebagai pelopor perjuangan khilafah. Sikapnya tersebut sejalan dengan menguatnya perhatian Sarekat Islam kepada Pan-Islamisme. Mereka mengklaim diri sebagai pejuang Pan-Islamisme.

Antusiasme mereka kepada perjuangan khilafah dideklarasikan di Kongres Nasional Sarekat Islam ke-11 pada Agustus 1924. Kongres ini juga menyepakati untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang diberi nama Bandera Islam. Saat itu usaha penerbitan surat kabar merupakan cara yang biasa dilakukan oleh organisasi-organisasi pergerakan untuk menyuarakan azas, tujuan, dan program aksi mereka. Surat kabar yang berbahasa melayu ini diterbitkan oleh Sarekat Islam untuk menyebarkan ilmu-ilmu keislaman dan pandangan-pandangan politik mereka.

Bandera Islam terbit selama tiga tahun sejak 1924 hingga 1927. Periode terbitnya ini berbarengan dengan periode Sarekat Islam memperjuangkan khilafah. Oleh karena itu ditemukan ada banyak tulisan mengenai perjuangan khilafah dalam terbitan Bandera Islam.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, pada periode 1920-an persoalan khilafah mendapat respon dari umat Islam di Indonesia sehingga mereka terlibat dalam perjuangan menegakkan khilafah. Adapun permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai mengapa Sarekat Islam banyak memuat tulisan tentang perjuangan khilafah dalam surat kabar Bandera Islam. Untuk mempermudah penelitian ini, maka akan diajukan pertanyaan penelitian, yakni:

  1. Mengapa Sarekat Islam menganggap masalah khilafah menjadi penting bagi perjuangan Islam?
  1. Apakah Bandera Islam selalu sejalan dengan Sarekat Islam?
  1. Bagaimana respon masyarakat pada saat itu kepada Bandera Islam?
  1. Muslim of the Dutch East Indies and The Caliphate Question oleh Martin van Bruinessen.
  1. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942 oleh Deliar Noer.
  1. Politik Islam Hindia Belanda oleh Aqib Suminto.
  1. memaparkan keterlibatan  Sarekat Islam dalam perjuangan khilafah.
  1. melihat dan menganalisa perkembangan pers Sarekat Islam hingga melahirkan Bandera Islam.
  1. memaparkan peranan surat kabar Bandera Islam sebagai pers Sarekat Islam dalam perjuangan khilafah.
  1. memperluas informasi mengenai sejarah perjuangan khilafah di Indonesia: fakta bahwa masih terbuka luas kesempatan untuk melakukan penelitian mengenai tema sejarah ini dan menarik untuk diteliti sehubungan akhir-akhir ini gagasan khilafah sering diperbincangkan dalam media massa nasional.
  1. heuristik,
  1. kritik,
  1. interpertasi, dan
  1. historiografi.
Dewan Penguji
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas peran surat kabar Bandera Islam dalam perjuangan khilafah sejak tahun 1924 hingga 1927. Bandera Islam merupakan surat kabar yang banyak memuat tulisan tentang perjuangan khilafah. Tahun 1924 dipilih karena merupakan tahun awal diterbitkan Bandera Islam. Ruang lingkup dibatasi hingga tahun 1927 karena semenjak itu Bandera Islam tidak terbit lagi.

1.4 Tinjauan Pustaka
Ada tiga penelitian sebelumnya yakni
Dari ketiganya tidak ada satu pun yang membahas peran pers dalam perjuangan khilafah sehingga tertantang untuk mengetahuinya ada pun Bandera Islam memiliki keunikan tersendiri karena periode terbitnya bersamaan dengan periode umat Islam Indonesia memperjuangkan khilafah, yakni 1924-1927.

1.5 Tujuan Penelitian
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yakni
1.7 Sumber Penelitian
Primer: Bandera Islam 1924-1927 (10A/PN/M & 1967A/PN/M)
Sekunder:
Buku mengenai pers
Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesian (2003),
M. Gani, Surat Kabar Indonesia pada Tiga Zaman (1978),
Abdurrachman Surjomihardjo, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (2002), dll.
Buku mengenai Sarekat Islam
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (2005),
A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? (1985),
dll.

1.8 Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab II Respon Umat Islam di Hindia Belanda atas Keruntuhan Turki Usmani
Bab III Bandera Islam sebagai Pers Pergerakan
Bab IV Perjuangan Khilafah dalam Bandera Islam
Bab V Kesimpulan

Hasil Penelitian
Setelah menelusuri dinamika umat Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20 terlihat bahwa perjuangan menegakkan khilafah merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sudah banyak orang Indonesia terlibat dalam perjuangan ini. Penelusuran sumber-sumber sejarah yang ada menunjukan bahwa di Indonesia para ulama, tokoh pergerakan Islam, beserta umat Islam yang lain turut serta memperjuangkan khilafah agar tegak kembali. Mereka merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaian untuk membentuk suatu khilafah baru. Sikap mereka ini tidak terlepas dari pengaruh Pan-Islamisme.

Cita-cita persatuan Islam dalam satu pemerintahan Islam yang merdeka menjadi sebuah harapan besar bagi mereka yang saat itu hidup dibawah penjajahan bangsa asing dan kafir. Untuk beberapa waktu cita-cita internasional ini masih tetap bertahan hingga kemudian mereka meninggalkannya dan mengalihkan perhatian mereka kepada cita-cita nasionalisme yakni menuju negara bangsa yang merdeka. Sejak saat itulah perjuangan khilafah berangsur-angsur hilang tergantikan oleh perjuangan nasionalisme.

Sarekat Islam adalah salah satu kelompok yang terlibat dalam perjuangan khilafah. Perannya sangat signifikan di Indonesia. Saat itu Sarekat Islam mengklaim sebagai organisasi yang berjuang untuk mewujudkan cita-cita Pan-Islamisme. Pelaksanaan kongres-kongres Al-Islam  menjadi mimbar bagi Sarekat Islam untuk meperluas pengaruh Pan-Islamisme. Usaha ini  telah Sarekat Islam lakukan sejak Kongres Al-Islam pertama. Untuk beberapa tahun usaha tersebut terus berlanjut bahkan intensitasnya semakin bertambah saat mereka telibat dalam perjuangan khilafah. Oleh karena itu keterlibatan Sarekat Islam dalam perjuangan khilafah sejalan dengan antusiasme mereka kepada Pan-Islamisme.

Dalam pandangan Sarekat Islam perjuangan khilafah menjadi penting bagi perjuangan Islam karena menuju langkah awal untuk mewujudkan cita-cita Pan-Islamisme. Cita-cita persatuan umat Islam sedunia dalam peraturan hidup Islam dibawah pemerintahan yang merdeka ini merupakan sebuah cita-cita yang mulia yang saat itu mereka perjuangkan. Sebagaimana yang mereka pahami Islam merupakan suatu peraturan hidup yang lengkap yang mengikat dan menyatukan seluruh umat Islam di dunia. Dengan tegaknya khilafah maka cita-cita tersebut dapat terwujudkan.

Persoalan khilafah menjadi tema yang selalu dibahas dalam Kongres Al-Islam pada periode ini. Sebab, Sarekat Islam menjadi pihak yang paling dominan dalam setiap pelaksanaan Kongres Al-Islam, selain karena ide perjuangan khilafah yang mudah diterima, mereka  memiliki pengikut yang cukup banyak ditambah para pemimpin mereka yang memiliki pengalaman lebih dalam hal organisasi. Begitu seterusnya hingga mereka kemudian melepaskan Pan-Islamismenya dan berpihak pada nasionalisme Indonesia, dan di waktu yang bersamaan mereka terjerat dalam perselisihan internal umat Islam.

Pada perkembangan selanjutnya persoalan khilafah ini ditinggalkan oleh umat Islam di Indonesia. Penyebabnya karena golongan tradisional yang terhimpun dalam NU, serta Muhammadiyyah dan Al-Irsyad memfokuskan perjuangan mereka ke bidang sosial dan pendidikan. Sementara itu Sarekat Islam sudah tidak berkharismatik lagi dihadapan mereka setelah Sarekat Islam justru ikut terjerat dalam perseteruan internal umat Islam. Sejak saat itu perjuangan Sarekat Islam sudah tidak lagi  mewakili aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Mereka juga tidak bisa mengklaim lagi sebagai pelopor gerakan nasional setelah ada PNI yang menggantikan posisi mereka. Sebab sokongan dunia Islam terhadap persoalan khilafah yang menghilang mengakibatkan Sarekat Islam meninggalkan perjuangan khilafah dan mengalihkannya pada perjuangan Islam dalam konteks kebangsaan.

Bandera Islam  adalah surat kabar yang diterbitkan oleh Sarekat Islam. Kemunculannya dilatarbelakangi oleh keinginan Sarekat Islam untuk menghidupkan keislaman (Pan-Islamisme) di Indonesia. Sebagai surat kabar yang dikeluarkan Sarekat Islam, Bandera Islam selalu memuat pandangan politik dan keislaman Sarekat Islam. Redakturnya pun adalah para pengurus Sarekat Islam. Oleh karena itu Bandera Islam selalu memiliki pandangan yang sejalan dengan Sarekat Islam.

Pada masa itu usaha penerbitan surat kabar merupakan cara yang biasa dilakukan oleh organisasi-organisasi pergerakan. Surat kabar merupakan cara yang efektif bagi organisasi pergerakan untuk menyosialisasikan pandangan mereka. Antara Sarekat Islam dengan Bandera Islam diibaratkan sebagai kembar siam. Keduanya hidup berdampingan secara simbiotik. Terbitan Bandera Islam mencerminkan perjuangan Sarekat Islam. Jadi wajar jika ditemukan banyak tulisan tentang khilafah dalam Bandera Islam. Sebab, periode Bandera Islam terbit berbarengan dengan keterlibatan Sarekat Islam dalam perjuangan khilafah.

Bandera Islam turut membantu mendistribusikan informasi perjuangan khilafah di Indonesia. Dalam setiap pelaksanaan Kongres Al-Islam, Bandera Islam turut berperan dalam menyebarkan informasi kongres. Undangan, pemberitahuan dan reportase serta hasil keputusan kongres banyak dimuat dalam Bandera Islam. Para pemimpin Sarekat Islam berulang kali melakukan hal itu. Mereka menyadari adanya respon positif dari masyarakat terhadap Bandera Islam. Selain itu Bandera Islam mempunyai sidang pembaca yang luas, peredarannya tidak hanya di Indonesia bahkan menjangkau hingga mancanegara. Oleh karenanya Bandera Islam menjadi media yang sangat efektif bagi Sarekat Islam untuk memperluas propaganda mereka.

Pro-kontra tidak selalu hilang ditengah masyarakat. Begitu juga dengan perjuangan khilafah saat itu. Polemik yang dilakukan para pemimpin Sarekat Islam melalui Bandera Islam menunjukan hal tersebut. Tidak semua masyarakat selalu memiliki pendapat yang sama. Ada saja pihak yang berseberangan dengan Sarekat Islam dan Bandera Islam. Jadi pada saat itu masyarakat yang merespon terbitan Bandera Islam terbagai menjadi dua yakni ada yang pro dan ada yang kontra.

Namun sebab sifatnya sebagai surat kabar Sarekat Islam, Bandera Islam kurang objektif dalam menggambarkan realitas masyarakat. Faktanya, Bandera Islam tidak menjelaskan pandangan golongan tradisional tentang perjuangan ini, yang tidak sedikit memiliki pandangan yang berbeda dengan pihak Sarekat Islam. Relitas perjuangan golongan tradisional luput dari pemberitaan Bandera Islam.

Di masa lalu Bandera Islam sangat berguna bagi Sarekat Islam untuk perjuangan khilafah, namun tidak ada gunanya lagi bagi mereka ketika sejarah Bandera Islam ini ditulis. Oleh karenanya memahami sejarah bukan untuk kepentingan orang-orang di masa lalu tetapi untuk kepentingan orang-orang di masa kini. Jika dulu lembaran-lembaran Bandera Islam telah menjadi alat propaganda yang efektif untuk perjuangan khilafah, maka hari ini lembaran-lembarannya yang masih ada menjadi jendela yang efektif untuk memahami antusiasme para pendahulu bangsa Indonesia dalam memperjuangkan khilafah. Dengan begitu dapat memperluas wawasan tentang perjuangan khilafah yang hari ini banyak diperbincangkan.

Daftar Pustaka
Surat Kabar
Bandera Islam, Hindia Baroe, Neratja
Jurnal
Anthony Reid, “Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia”, dalam  JSTOR, Vol. 26, No. 2, 1967, hlm. 267-253.
___________, “Sixteenth Century Turkish Influence in Western Indonesia”, dalam  JSTOR, Vol. 10, No. 3, 1969, hlm. 395-414.
Martin van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and The Caliphate Question”, dalam Studia Islamika, Vol 2, No. 3, 1995, hlm. 115-140.

Buku
Adam, Ahmat. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesian.  Jakarta: Hasta Mirta,        2003.
Gani, M.. Surat Kabar Indonesia pada Tiga Zaman, Jakarta: Departemen Penerangan, 1978.
Korver, A.P.E.. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafitipers, 1985.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1996.

dll.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Ketua Sidang/Penguji       : Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Guru Besar Ilmu Sejarah UI)
Pembimbing                        : Dr. Mohammad Iskandar (Pakar Sejarah Pergerakan Islam)
Penguji                                 : Dr. Ita Syamtasiyah Ahyat (Pakar Sejarah Kesultanan Islam)
Depok, 7 Januari 2013

***
[i]Septian Anto Waginugroho lahir di Bogor 13 September 1989. Selain karena menimba ilmu sejarah di UI, minatnya terhadap penelitian sejarah semakin berkembang setelah banyak berinteraksi dengan para peneliti INSIST (Institute for the Islamic Thought and Civilization). Mulai 2008 sering mengikuti kuliah umum tentang pemikiran Islam, sejarah pemikiran barat dan filsafat ilmu pengetahuan yang diselenggarakan oleh lembaga tersebut. Sejak saat itu semakin yakin bahwa mainstrem penulisan sejarah Indonesia banyak menyudutkan Islam, sebab telah terjadi deislamisasi sejarah Indonesia sejak zaman kolonial. Oleh karena itu perlu adanya pelurusan dalam penulisan sejarah Indonesia terutama yang menyangkut umat Islam. Meski begitu usaha tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang cerdas. Penelitian skripsi yang berjudul Peran Surat Kabar Bandera Islam dalam Perjuangan Khilafah 1924-1927 ini, selain tuntutan untuk lulus kuliah, sebagai usaha awal ke arah sana. Sedangkan wacana perjuangan khilafah bukan hal baru, sejak usia lima belas tahun telah mengikuti kursus pemikiran politik Islam di Hizbut Tahrir, sebuah partai politik Islam internasional yang berjuang untuk menegakan khilafah.

Teruntuk para dosen, ustad dan sahabat yang mendorong saya untuk sukses, saya ucapkan JazakumuLlah.

Minggu, 23 Desember 2012

Komite Khilafah

Minggu, 23 Desember 2012 0
Sesungguhnya perjuangan penegakan Khilafah Islamiyah merupakan bagian dari sejarah besar bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sudah banyak orang Indonesia terlibat dalam perjuangan khilafah. Penelusuran sumber-sumber sejarah yang ada menunjukan bahwa di Indonesia para ulama, tokoh pergerakan beserta umat Islam yang lain turut serta memperjuangkan khilafah agar tegak kembali.


Walaupun perjuangan ini cukup singkat yang kemudian lenyap tergerus oleh perjuangan nasionalisme, semangat perjuangan mereka penting untuk dipahami. Fakta-fakta sejarah ini harus selalu diungkap. Adalah hak seluruh bangsa Indonesia untuk mengetahui jejak-jejak perjuangan mereka. Dengan memahami sejarah ini kita bisa mengambil banyak pelajaran berharga. Sebagaimana fungsi sejarah, dengan mengetahui masa lalu kita akan memahami masa kini untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Peristiwa penghapusan Turki Usmani oleh Mutafa Kemal yang disusul oleh seruan ulama al-Azhar untuk menghadiri Kongres Kairo yang akan memilih khalifah baru mendapat antusiasme yang sangat besar dari umat Islam di Indonesia. Pada 4-5 Oktober 1924 para pemimpin Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad mengadakan sebuah pertemuan di Madrasah Tarbiatoel Aitam Genteng Surabaya. Selain dihadiri oleh para pemimpin nasional dan lokal dari ketiga organisasi tersebut, pertemuan ini juga dihadiri oleh banyak ulama besar, baik dari kalangan orang Arab maupun orang Jawa. Dalam pertemuan ini terjadi diskusi yang panjang tentang khilafah dan seruan ulama al-Azhar tersebut.

Dalam sejarah Indonesia, pertemuan ini menjadi pertemuan khusus membahas khilafah yang pertama kali diadakan di Indonesia. Disepakati dalam pertemuan ini bahwa keberadaan khilafah adalah wajib, dan penting mengirim delegasi Indonesia ke Kongres Kairo. Hasil lain dalam pertemuan ini adalah kesepakatan para ulama dan tokoh pergerakan Islam untuk membentuk Komite Khilafah sebagai wadah bagi mereka dalam memperjuangakan khilafah.

Komite Khilafah bertugas menetapkan mandat yang akan dibawa oleh delegasi Indonesia. Mandat tersebut berisi sebuah konsep khilafah yang akan ditegakan. Oleh karena itu ternyata perjuangan mereka saat itu telah berhasil merumuskan sebuah konsep baru tentang khilafah.

Pada 24-27 Desember 1924 komite yang diketuai Wondo Soedirjo dengan wakil K.H. Abdul Wahab ini mengadakan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres yang dihadiri oleh ribuan umat Islam termasuk ulama dan tokoh pergerakan ini menyetujui mandat tersebut. Dengan seiya sekata para peserta kongres menyatakan wajib terlibat dalam perjuangan khilafah. 

Selain itu kongres tersebut juga menyepakati untuk mendirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu dibeberapa kota di Indonesia didirikan cabang-cabang Komite Khilafah. Jika kita telusuri sejarah lokal tentang Komite Khilafah, barangkali di kota tempat kita tinggal saat ini dapat ditemui jejak-jejak perjuangannya.

Komite cabang yang pernah didirikan antara lain adalah Komite Khilafah Yogyakarta, Komite Khilafah Pekalongan, Komite Khilafah Cirebon, Komite Khilafah Pasuruan, Komite Khilafah Bogor, Komite Khilafah Banjarmasin dan Komite Khilafah Cianjur. Hal ini menjadi bukti bahwa perjuangan khilafah mendapatkan apresiasi yang sangat besar di berbagai tempat di Indonesia.

Seperti yang pernah diberitakan oleh sebuah surat kabar pada zaman itu. Diberitakan bahwa pada 30 November 1924 di Cianjur telah diadakan sebuah rapat besar yang dihadiri oleh sekitar 3000 orang untuk membahas persoalan khilafah. Sesuatu yang sangat luar biasa, dalam konteks hari ini sekalipun, di kota Cianjur sebuah pertemuan yang membicarakan khilafah dapat dihadiri peserta sebanyak 3000 orang.

Kemudian bagaimana perjuangan khilafah di tempat yang lain. Saya pikir sangat menarik untuk bersama-sama kita telusuri sejarahnya. Berminat?

---- ### -----
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Indonesia Program Studi S1 Ilmu Sejarah. TUlisan ini pernah dipublish dalam Media Umat edisi 95, 21 Desember 2012.
Sumber gambar diambil dari surat kabar Bandera Islam yang terbit

Selasa, 27 November 2012

Jejak Awal Perjuangan Khilafah di Indonesia

Selasa, 27 November 2012 1

Oleh Septian A.W.



            Sesungguhnya perjuangan penegakan Khilafah Islamiyah merupakan bagian dari sejarah besar bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sudah banyak orang Indonesia terlibat dalam perjuangan khilafah. Penelusuran sumber-sumber sejarah yang ada menunjukan bahwa para ulama, tokoh pergerakan, beserta umat Islam Indonesia yang lain turut serta memperjuangkan Khilafah agar tegak kembali. Siapa yang tidak mengenal H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Agus Salim, K.H. Fakhrudin dan K.H. Mas Mansur. Mereka yang dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia itu ternyata menjadi aktor penting perjuangan khilafah kala itu.
            Walaupun perjuangan ini cukup singkat yang kemudian lenyap tergerus oleh perjuangan nasionalisme, euforia perjuangan mereka penting untuk dipahami oleh kita yang merupakan anak cucu mereka. Fakta-fakta sejarah ini harus selalu diungkap. Adalah hak seluruh bangsa Indonesia untuk mengetahui jejak langkah perjuangan mereka. Dengan memahami sejarah ini kita akan banyak mengambil pelajaran berharga untuk kehidupan kita saat ini.
            Eksistensi sejarah umat Islam Indonesia dalam memperjuangkan khilafah telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun barat. Diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka. Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan, umat Islam di Indonesia tidak hanya sekedar berminat dalam masalah khilafah mereka justru merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya.
            Hal senada juga diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Usmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti yang dikutip van Bruinessen, hal itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini”.
            Tidak membutuhkan waktu lama bagi umat Islam di Indonesia untuk segera merespon persoalan khilafah. Jejak awal perjuangan mereka dapat dilihat dalam Kongres Al-Islam kedua di Garut pada 19-21 Mei 1924. Selain membahas persoalan internal umat Islam di Indonesia, kongres yang diadakan di bawah pimpinan K.H. Agus Salim dan pengurus Muhammadiyah ini membahas permasalahan khilafah yang baru dua bulan sebelumnya diruntuhkan oleh Mustafa Kemal.
            Dalam pidato pembukaan kongres, K.H. Agus Salim menempatkan permasalahan tersebut dalam konteks perjuangan antara dunia Islam dan pemerintah kolonial. Menurutnya, hubungan antara negeri-negeri Muslim itu buruk, persatuan mereka telah rusak, dan khalifah hanya hidup dalam khutbah Jum’at. Di berbagai tempat mereka dikuasai oleh bangsa asing. Di Ankara khalifah telah dipecat dan tidak ada khalifah baru di Istanbul. Kemudian K.H. Agus Salim menegaskan, Kongres Al-Islam ini perlu mencari persatuan maka merupakan sebuah kewajiban dalam mencari solusi atas permasalahan khilafah. Bagi K.H. Agus Salim keberadaan sebuah pemerintahan muslim yang merdeka adalah suatu hal yang penting.
            Sejak saat itu gagasan menegakan khilafah kembali terus bergulir dan terus diperbincangkan di Indonesia. Mayoritas umat Islam di Indonesia merasa berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Hingga
 
Membuka Wacana Sejarah. Design by Pocket